disadur dari KOMPAS 20 Jan 2009

Barongsai Memperluas Diri
Selasa, 20 Januari 2009 | 09:13 WIB

Kompas/Wisnu Widiantoro
ebuah kelompok barongsai menunjukkan kebolehannya dalam Living in Harmony "The Chinese Heritage in Indonesia" di Mal Ciputra, Jakarta Barat.

Oleh : Susi Ivvaty
DARI tradisi China kuno berabad lalu, barongsai sampai ke Indonesia dan terus memperluas dirinya hingga kini menjadi seni pertunjukan yang bisa ditampilkan kapan pun. Barongsai yang dulu jadi simbol gengsi perguruan, yang kalau beraksi bisa sampai bertempur beneran, kini menjadi kian lucu.
Atraksi barongsai dan liong, menurut sejumlah sumber, sejatinya memiliki makna dan nilai yang sangat dalam. Karta Lugina (81), sesepuh warga Tionghoa dan Persatuan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih (perguruan silat di Bogor), mengatakan, barongsai adalah simbol gengsi sebuah perguruan silat.
Menurut Oscar Kam Hok An (58), pemilik klub barongsai Belpas (belakang pasar Jatinegara), barongsai adalah ritual untuk mendatangkan kemakmuran dan kemaslahatan. Adapun menurut Wakil Ketua Kelompok Barongsai Bio Hok Tek Tjeng Sin Kebayoran Lama Teguh Atmadja, barongsai adalah kendaraan pada dewa.
”Dasar gerakan barongsai adalah jurus-jurus kungfu. Dulu orang harus punya dasar kemampuan kungfu sebelum bermain barongsai. Masing-masing perguruan lalu mengembangkan gaya,” kenang Karta.
Keunggulan sebuah perguruan silat ditunjukkan dari seberapa mahir mereka memainkan barongsai. Karta ingat pada tahun 1950-an, Bangau Putih kerap diundang ke acara Cap Go Meh di Kota, Jakarta. ”Kami bertemu dengan barongsai dari perguruan lain. Kalau itu perguruan ’musuh’, kami harus siap beradu kungfu,” terang Karta yang hingga tahun 1960-an masih aktif main barongsai.
Masa pelarangan
Seperti kita tahu, kesenian barongsai dan liong sempat ”hilang” selama masa Orde Baru, 33 tahun mati suri. Waktu itu barongsai dimainkan secara sembunyi-sembunyi, seperti kelompok Belpas yang hanya berani mengelilingi pasar Jatinegara. ”Latihan pun sembunyi,” ujar Guntur Santoso (50), pengurus Yayasan Vihara Dhanagun dan pemimpin kelompok barongsai Naga Merah Putih Bogor.
Kelompok liong-barongsai di Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang pada tahun 80-an juga pernah menyembunyikan barongsai di rumah warga. ”Saat itu, papan nama Boen Tek Bio diturunkan tentara,” kata Oey Cin Eng (70), sesepuh masyarakat Tionghoa di Tangerang.
Pelarangan ini sebenarnya terjadi juga di China. ”Kalau di China karena ada revolusi kebudayaan, dan diizinkan lagi hampir bersamaan dengan Indonesia,” ungkap Amin Kiat Harianto, Ketua Harian Persatuan Liong Barongsai Bogor yang juga pemimpin kelompok barongsai Grup Atraksi Seni Indonesia.
Barongsai riuh semenjak Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Hingga kini, kelompok barongsai makin banyak. Bahkan ada istilah barongsai ngamen, yakni kelompok yang bermain hanya demi angpau.
Jenis-jenis
Dari asal-usulnya di daratan China, ada tiga jenis barongsai berdasarkan wilayah, yakni Barongsai Utara, Barongsai Selatan, dan Barongsai Peking. Karena di wilayah utara dingin, barongsainya penuh bulu. Daerah selatan yang lebih panas didominasi oleh motif kain, sedangkan Barongsai Peking kaya akan pernik hiasan. Barongsai Utara, menurut Teguh dari Bio Hok Tek Tjeng Sin, berbentuk seram dengan mulut melengkung seperti kucing, sedangkan Barongsai Selatan lebih lucu, mulutnya lurus seperti bebek.
Ada varian lain, yakni Kie Lin, yang agak berbeda dari barongsai. Kie Lin memiliki sepasang tanduk bercabang seperti rusa, bersisik seperti ikan, dan matanya seperti mata kepiting. Kie Lin dikenal pula sebagai tunggangan dewa. ”Kie Lin hanya ada satu ini di Indonesia,” kata Gunawan Rahardja, Ketua PGB Bangau Putih Bogor.
Jenis barongsai kini makin beragam, menyesuaikan budaya setempat. Di Malaysia ada barongsai dengan kepala mirip kepala naga dan bergerak meloncat-loncat di patok-patok besi. Di Semarang ada barong yang bentuknya seperti topeng.
Di Bali, dikenal Barong Landung, yang menurut Pemimpin Sanggar Saraswati I Gusti Kompiang Raka, karakternya mirip Barongsai Utara tetapi berjalan seperti ondel-ondel. Barong Landung perempuan dinamai Jero Luh, berwarna putih dan bermata sipit.
Ada pula Barong Keket mirip singa, Barong Bangkung menyerupai babi, Barong Kedingkling mirip kera, dan Barong Klutuk dengan bulu dari daun pisang.
”Percampuran Bali-China sangat kuat di Bali, termasuk dalam barong,” kata Kompiang. Dan, untuk pertama kali, atraksi Barong Landung tampil berbaur dengan barongsai pada Festival Peranakan di Grand Indonesia, hingga 1 Februari 2009.
Bagaimana kisah Barong Landung? Dulu kala di utara Kintamani terdapatlah kerajaan Panarojan. Sang Raja, Jaka Pangus, jatuh cinta kepada putri Tionghoa bernama Kang Ching Wi. Ia ingin mengawini sang putri, tetapi aturan melarang. Jaka Pangus dan sang putri pun melarikan diri ke Gunung Batur.
Untuk mengenang, masyarakat membikin patung Jaka Pangus dan putri Kang Ching Wi. Konon, merekalah sang Barong Landung itu. (Dahono Fitrianto, Lusiana Indriasari, FX Puniman)

Komentar