Dasar Pandangan Agama Buddha
oleh Venerable S. Dhammika.
Berisi penjelasan cukup detil mengenai pandangan dan ajaran dari agama Buddha.
[Penjelasan sangat bagus]
Jangan lupa like dan share
Sebelumnya klik: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150896748931805&set=a.10150896521021805.396774.300530356804&type=3
K A R M A
26. Telah disebutkan di depan, bahwa setelah mati, kita akan lahir kembali di
salah satu dari enam alam kehidupan. Lalu, keadaan-keadaan bagaimanakah yang
mensyaratkan kelahiran di masing-masing alam itu? Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut; marilah kita lihat pandangan agama Buddha tentang penyebab semua
keadaan umumnya terjadi. Sebagian masyarakat akan menyandarkan jawaban atas
segala keadaan yang terjadi, baik atau buruk, kepada Tuhan. Namun agama Buddha
menyangkal ciri ketuhanan seperti itu; lalu bagaimana menerangkan kehidupan
alam-semesta yang demikian dinamis, alam-semesta yang selalu penuh pergolakan,
interaksi dan kejadian-kejadian? Agama Buddha, seperti halnya ilmu pengetahuan,
mengajarkan sebab-musabab yang alami. Menurut agama Buddha, semua fenomena di
alam-semesta ini bekerja menurut salah satu dasar lima hukum alam (niyama).1
Hukum-hukum fisika (utu niyama) mengatur keberaturan fisik anorganik, mengatur
temperatur didih air, kecepatan cahaya, siklus musim, dan sebagainya.
Hukum-hukum biologis (bija niyama) mengatur pertumbuhan, reproduksi, hukum
genetika/penurunan sifat dan semua aspek makhluk hidup. Hukum-hukum psikologik
(citta niyama) mengatur fungsi-fungsi kesadaran serta fenomena ekstrasensorik
seperti telepati, kewaskitaan (Inggeris: clairvoyance) dan sebagainya. Dibawah
hukum-hukum semesta (dhamma niyama) bekerja hukum gaya-berat, termodinamik dan
segala fenomena semacamnya diseluruh alam-semesta ini. Namun hukum yang sangat
menarik adalah hukum karma (kamma niyama). Selama berabad-abad, doktrin agama
Buddha tentang karma (Pali: Kamma), telah sering disalah-artikan sebagai paham
deterministik/takdir. Saat ini pun, masih sering didengar diantara orang-orang,
rohaniawan Buddhis sekalipun, yang mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi atas
kehendak kamma. Karenanya, banyak tafsiran tentang kamma yang agak janggal bila
dibandingkan dengan ajaran Sang Buddha sendiri. Hal ini disebabkan karena pada
umumnya, doktrin kamma yang diajarkan saat ini tidak berdasarkan ajaran Sang
Buddha langsung, tapi berdasarkan kepustakaan komentar, yang sebagian besar
diantaranya ditulis ribuan tahun setelah era Sang Buddha. Kita akan mencoba
menelusuri doktrin kamma, seperti apa yang digambarkan oleh Sang Buddha dalam
bentuk pemahaman moderen yang sederhana.
27. Istilah ‘kamma‘ berarti tindakan (Inggeris: action) serta mengacu pada kehendak
(cetana) pikiran, ucapan dan tindakan jasmani kita. Sang Buddha bersabda:
"Saya katakan, kehendak adalah kamma, karena didahului oleh kehendak
seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran."2
Istilah ‘vipaka‘ berarti hasil atau dampak serta mengacu pada hasil tindakan
berdasar kehendak kita. Dengan demikian, menolong seseorang (suatu kamma) akan
menghasilkan persahabatan baru yang baik (suatu vipaka). Pula sebaliknya,
berdusta (suatu kamma) berakibat ketahuan dan oleh karenanya dipermalu dan
dimaki (suatu vipaka). Tentunya, kehendak untuk berbuat sesuatu (belum
dilaksanakan) berbeda dari bila telah dilaksanakan, walau keduanya akan
berdampak, yang pertama (kehendak saja) lebih ringan dari kedua (telah
melaksanakannya). Setiap kali kita dengan sengaja berpikir, berkata dan
bertindak, maka jelas telah terjadi perubahan pada kesadaran kita. Dengan
demikian, tipe manusia bagaimana kita saat ini tergantung dari timbunan
perbuatan yang telah dilakukan masa-masa sebelumnya, demikian pula apa yang
kita lakukan sekarang akan membentuk watak kita di hari kemudian.
Kita adalah apa yang telah kita perbuat.
Apa yang akan kita perbuat adalah demikian kita akan jadinya.
Watak kita saat ini dibentuk dan dipengaruhi oleh hubungan kita dengan sesama
kita, reaksi kita pada berbagai situasi, yang kemudian pada gilirannya
menentukan berbahagia atau tidaknya kita sendiri. Sang Buddha mengatakan,
sebagai berikut:
"Semua makhluk adalah pemilik kamma-nya sendiri, pewaris kamma-nya,
kamma-nya adalah kandungan yang melahirkannya, dengan kamma-nya dia
berhubungan, kamma-nya adalah pelindungnya. Apapun kamma-nya, baik atau buruk,
mereka akan mewarisinya."3
28. Dengan demikian adalah penting untuk membedakan pengerttian antara
faktor-faktor penentu (Inggeris: determining factors) dari faktor-faktor
prasyarat (Inggeris: conditioning factors). Bila dikatakan, bahwa keadaan kita
kini hanya ditentukan oleh tindak-tanduk kita sebelumnya dan keadaan masa
mendatang ditentukan hanya oleh tindak-tanduk saat ini, berarti seluruh
kehidupan telah diputuskan dan ditentukan sebelumnya; kita tidak bebas lagi
untuk berprakarsa dan merubah segalanya. Namun, kamma tidaklah memutuskan
keberadaan kita. Tindak-tanduk kita masa lampau turut menentukan saat sekarang,
lalu tindak-tanduk saat sekarang turut menentukan masa depan, dengan kata lain
tindak-tanduk mempengaruhi dalam derajat yang besar atau kecil. Dengan demikian
masih ada kesempatan untuk melatih kemauan dan berusaha berubah. Hukum kamma,
dengan demikian, lebih berarti suatu kecenderungan, bukan sekadar suatu
konsekwensi yang tak dapat diubah dan dielakkan. Ajaran Buddha tidak
mengajarkan paham “takdir” (niyativada), juga tidak mengajarkan paham “bebas
kehendak” (attakiriyavada), tapi suatu ‘kehendak-berprasyarat’ (Inggeris: conditioned).
Hukum kamma turut (menjadi prasyarat) dalam menentukan tiga hal apakah kita
terlahir kembali atau tidak, di alam mana kita akan terlahir, dan pengalaman
bagaimana yang akan dialami di kehidupan yang akan datang tersebut. Kita akan
menelusurinya satu persatu.
29. Menurut Sang Buddha, tindak-tanduk manusia-biasa pada dasarnya bercirikan
keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kegelapan-batin (moha), atau seperti
sering disebutkan oleh Sang Buddha, semuanya berakar pada ketidaktahuan
(avijja) dan keinginan-rendah (tanha). Tindakan baik pun bila dijejaki
kadang-kadang masih terwarnai oleh kekotoran batin tersebut. Keserakahan,
kebencian dan kegelapan batin mendasari tindakan kita sehari-hari, tapi tidak
semua tindakan itu akan berbuah akibat pada kehidupan sekarang ini; daya/energi
yang tidak berbuah pada kehidupan sekarang ini akan mendorong kita ke kehidupan
baru sesudah kita mati. Sebagai analogi sehari-hari, mobil bergerak karena
adanya mesin, bila mesin tiba-tiba terhenti, energi sisa tetap akan mendorong
mobil sebentar, sampai mesin dapat dihidupkan kembali. Sang Buddha berkata:
"Ada tiga sumber asal dari tindakan seseorang. Apa yang tiga itu?
Keserakahan, kebencian dan kegelapan batin. Setiap tindakan yang dilahirkan,
berasal dan timbul dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin akan
berbuah, dimanapun dia terlahir kembali; dimanapun tindakan itu berbuah, dia
akan mengalami hasilnya, pada kehidupan ini ataupun dikehidupan
mendatang."4
Selama kita bertindak dengan didasari keserakahan, kebencian dan
kegelapan-batin, selama itu pula kita membuat kamma, baik ataupun buruk, dan
oleh karenanya kita terlahir kembali. Dengan tercapainya Pencerahan;
keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin telah terkikis habis, dan dengan
sendirinya walau kita tetap bertindak, kita tidak menghasilkan kamma baru lagi,
dan setelah kematian kita tidak akan terlahir kembali.
30. Lebih lanjut Sang Buddha bersabda:
"Ada tiga sumber asal dari tindakan seseorang. Apa yang tiga itu? Bebas
dari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin. Setiap tindakan yang
dilahirkan, berasal dan timbul dari keadaan terbebas dari keserakahan,
kebencian dan kegelapan-batin oleh karena keserakahan, kebencian dan
kegelapan-batin tiada lagi kamma terhenti, terpotong pada akarnya, seperti sisa
potongan pohon palma yang tak dapat tumbuh lagi di kemudian hari."5
Kamma yang menyebabkan kita terlahir lagi, dan bila terlahir kembali, akan
terlahir di salah satu dari enam alam-kehidupan. Kamma yang telah kita timbun
akan menjadi prasyarat di alam mana kita akan terlahir. Semua tindakan yang
dilakukan dengan sengaja mempunyai sisi etis, yang dikelompokkan atas empat
tipe oleh Sang Buddha. Beliau bersabda:
"Ada empat macam kamma, yang saya telah terawangi melalui kebijaksanaan-Ku
dan kupermaklumkan pada dunia. Apa yang empat itu? Yakni kamma gelap berbuah
gelap, kamma terang berbuah terang, kamma terang dan gelap berbuah terang dan
gelap, kamma yang tidak terang pula tidak gelap berbuah tidak terang pula tidak
gelap."6
“Kamma gelap” mengacu pada perilaku yang didasari keserakahan, kemarahan,
ketaksabaran dan keadaan batin negatif lainnya, kesemuanya akan berbuah
kegelisahan dan kesusahan, yang disebut Sang Buddha sebagai “berbuah gelap”.
“Kamma terang” mengacu pada perilaku yang didasari pada keadaan batin yang
positif, seperti kebajikan, kemurahan-hati dan kejujuran, akan berbuah
ketenangan dan kebahagiaan atau “berbuah terang”. “Kamma terang dan gelap”
mengacu pada perilaku yang didorong oleh campuran oleh kehendak positif dan
kehendak negatif, dan oleh karenanya berdampak campuran pula. “Kamma yang tidak
terang, tidak pula gelap” mengacu pada perilaku yang netral, yang kemudian
berbuah netral pula. Apabila kamma tertentu menonjol dalam perilaku kita
sehari-hari, kita akan tertarik, pada waktu mati, kepada salah satu dari enam
alam-kehidupan diatas. Sang Buddha bersabda:
"Dan apa beragam kamma itu? Adalah kamma yang akan berbuah di alam-neraka,
di alam-binatang, di alam roh-lapar, di alam manusia, pula ada kamma yang
berbuah di alam dewa."7
Manusia yang kejam, ganas dan penuh kebencian, dapat terlahir di alam neraka
atau terlahir sebagai manusia dengan kesengsaraan seumur hidupnya. Manusia yang
tujuan hidupnya hanya makan, pemuasan seks dan kesenangan duniawi serta tidak
berusaha mengembangkan kecerdasan dan kebajikan, dapat terlahir sebagai
binatang atau manusia yang akan mengalami kehidupan yang penuh kemalangan.
Manusia yang berambisi buruk, tak pernah terpuaskan, serta terikat pada seks,
alkohol dan ganja akan cenderung terlahir sebagai Roh-lapar, atau sebagai
manusia yang tersiksa oleh ketidak-puasan; sedangkan mereka yang hidupnya
senantiasa dipenuhi oleh rasa cemburu, dan iri-hati akan terlahir di alam
Roh-cemburu atau sebagai manusia yang terikat dan tersiksa pada kecemburuannya.
Mereka yang senantiasa berbahagia, tak berbuat buruk dan senantiasa mencintai
mereka yang lain, akan terlahir sebagai dewa atau manusia yang senantiasa
bergembira dan bahagia.
31. Namun tentunya; kita tidak akan terlahir di Alam Neraka disebabkan hanya
karena berbohong sekali ataupun beberapa kali; pula kita tidak akan terlahir di
Alam Surga disebabkan karena bermurah hati dari waktu ke waktu. Sang Buddha
menjelaskan bahwa, perilaku tertentu yang berpengaruh kuat, menjadi kebiasaan
dan menonjol di batin seseorang (atau seperti yang Beliau katakan tindakan yang
“terbiasa, terikat dan sering dilaksanakan”8) yang akan menentukan kelahiran di
alam-alam yang lebih rendah atau di alam-alam yang lebih tinggi. Kebanyakan
manusia adalah tipe rata-rata, yakni jarang berperilaku sangat baik juga jarang
berperilaku sangat buruk, lalu sisa waktu diisi dengan perilaku yang sedikit
baik dan sedikit buruk, mereka ini kemungkinan juga akan terlahir sebagai
manusia rata-rata pada umumnya dan akan mengalami hal yang biasa-biasa pula
dalam kehidupannya. Namun, seseorang melaksanakan Dhamma secara tulus dan
benar, maka besar kemungkinan baginya untuk terlahir di Alam Surga atau sebagai
manusia dengan lingkungan yang baik.
32. Hal ke tiga yang turut ditentukan oleh hukum kamma adalah pengalaman yang
akan dialami selama hidup kita. Sering dikatakan, bahwa apa yang dialami pada
kehidupan setiap orang saat ini adalah hasil dari apa yang diperbuatnya di
kehidupan sebelumnya, pula apa yang diperbuat pada kehidupan sekarang akan
berbuah pada kehidupan yang akan datang. Pengertian tersebut, yakni bahwa semua
yang dilakukan akan berbuah pada salah satu kehidupan mendatang (tidak pada
kehidupan saat ini), ternyata salah. Sang Buddha berkata:
"Hasil dari suatu kamma ada tiga macam. Apa yang tiga itu? Yang berbuah
pada kehidupan sekarang, yang berbuah pada kehidupan berikut, dan yang berbuah
pada kehidupan-kehidupan yang selanjutnya."9
Seperti kenyataan yang kita alami sehari-hari, malah banyak perbuatan membawa
akibat seketika atau segera. Tidak selamanya harus menunggu sampai kehidupan
yang akan datang.
Salah pengertian lain tentang kamma, ialah anggapan bahwa setiap perbuatan
pasti berakibat; tindakan negatif, misalnya, pasti tak terelakkan berbuah
negatif. Walau Sang Sang Buddha seringkali memberi kesan seperti itu, namun
Beliau juga menjelaskan bahwa akibat dari setiap perbuatan bukanlah tak
terelakkan seperti itu. Beliau berkata:
"Bila seseorang berkata, bahwa hanya apa yang diperbuat itulah yang
diperolehnya, maka bila hal itu benar, maka menuntut kehidupan suci tidaklah
berarti – sebab tak ada kesempatan untuk mengatasi penderitaan. Tapi bila
seorang berkata, bahwa bila seorang berbuat demi apa yang akan diperolehnya,
lalu itulah yang diperolehnya, maka menuntut kehidupan suci adalah berarti ada kesempatan
untuk menghancurkan penderitaan. Contohnya, suatu kejahatan kecil dilakukan
seseorang, tindakan itu bisa berbuah pada kehidupan ini atau sama sekali tidak
berbuah. Sekarang, manusia yang bagaimana, yang walau dengan kejahatan kecil
sekalipun tetap akan membawanya ke neraka? Seorang yang tidak berhati-hati
dalam mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya. Dia tidak
mengembangkan kebijaksanaan, dia seorang yang tidak berarti, dia tidak
mengembangkan dirinya sendiri, hidupnya sempit dan dapat diukur. Perbuatan
kecil saja dapat membawanya ke neraka. Lalu sekarang, seorang yang dengan
hati-hati mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya. Dia
mengembangkan kebijaksanaan, dia seorang yang berarti, dia mengembangkan
dirinya sendiri, hidup tanpa batas dan tidak terukur. Bagi orang seperti ini,
sebuah kejahatan kecil bisa berbuah dikehidupan ini atau tidak sama sekali.
Seandainya seorang menaruh sejumput garam kedalam sebuah cawan kecil. Air
tersebut tidak akan bisa diminum. Mengapa? Karena cawan itu kecil. Nah,
sekarang seandainya seorang menaruh sejumput garam ke sungai Gangga. Airnya
akan tetap dapat diminum. Karena banyaknya air di sungai tersebut."10
Jadi jelas, pada seorang yang watak baiknya menonjol, maka perbuatan buruk
kecil yang dilakukannya hanya akan berbuah akibat yang tak berarti atau mungkin
sama sekali tidak berbuah; sebaliknya pada seorang yang selama hidupnya
ternodai oleh perbuatan buruk, maka perbuatan baik kecil yang dilakukannya akan
terselubungi. Pula, buah dari suatu perbuatan bisa saja tidak jadi masak dan
berbuah, karena terhapus atau terlarut oleh perbuatan yang lain. Sebagai
contoh, seorang mencuri sesuatu, namun kemudian menyadari kekeliruannya. Dia
mengembalikan barang tersebut, lalu berusaha berbuat baik dan berjanji tidak
akan berbuat demikian lagi di kemudian hari. Pada keadaan seperti ini, buah
hasil dari perbuatan buruk (mencuri) tersebut terhapus oleh perbuatan baiknya
yang belakangan (insaf dan mengembalikan barang tersebut). Seperti disebutkan
sebelumnya, hukum kamma adalah sesuatu yang menyangkut kecenderungan, bukan
suatu konsekwensi yang tak dapat dirubah serta tak dapat dielakkan.
33. Namun salah pengertian yang paling umum tentang hukum kamma adalah
kepercayaan bahwa setiap kejadian yang kita alami; tersandung, jatuh sakit,
menang undian, terlahir tampan, semuanya adalah hasil kamma lampau semata-mata.
Dengan alasan yang sangat tepat Sang Buddha menolak kepercayaan salah tersebut.
Sebab bila demikian halnya, maka sia-sia untuk berbuat baik dan menghindari
perbuatan tercela, sebab keseluruhan hidup ditentukan sebelumnya. Sang Buddha
bersabda:
“Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmin, yang mempercayai dan mengajarkan bahwa
apapun yang dialami seseorang, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semua
disebabkan oleh kamma lampau. Saya menemui mereka dan bertanya apakah benar
mereka mengajarkan sedemikian, mereka ternyata mengiyakan, saya berkata: “Bila
demikian, tuan yang terhormat, seseorang membunuh, mencuri dan berzina
disebabkan kamma lampau, mereka berbohong, berfitnah, berkata kasar dan tak
berharga disebabkan kamma lampau. Mereka menjadi serakah, membenci dan penuh
pandangan salah disebabkan kamma lampau.” Mereka yang mendasarkan segala
sesuatu pada kamma lampau sebagai unsur penentu akan kehilangan keinginan dan
usaha untuk berbuat ini atau tak berbuat itu.”11
Berdasarkan pengetahuan bahwa ada lima hukum yang mengatur semesta (26), jelas
bahwa kamma hanyalah salah satu dari beberapa penyebab yang menjadikan kita.
Terlahir cantik, jelek, utuh atau cacat mungkin disebabkan oleh turunan (hukum
Biologis), bukan semata-mata oleh perbuatan yang baik atau buruk di masa
lampau. Cerdas atau bodoh mungkin disebabkan karena keadaan sosial dan pengaruh
orang-tua (hukum Fisika dan hukum Psikologik), bukan semata-mata oleh perbuatan
baik atau buruk. Mati muda atau berumur panjang mungkin karena gabungan antara
masalah gisi (hukum Biologis), lingkungan yang sehat (hukum Fisika) dan mungkin
pula sikap dan pandangan hidup (hukum Psikologik), bukan semata-mata karena perbuatan
yang baik atau buruk di masa lampau. Menghubungkan semua yang terjadi pada kita
(baik ataupun buruk) sebagai melulu akibat perbuatan masa lampau, menurut Sang
Buddha, berarti menutup mata pada kaidah sebab dan akibat yang telah dibenarkan
oleh pengalaman kita sendiri. Beliau bersabda:
“Sehubungan dengan itu, ada penderitaan yang ditimbulkan oleh empedu, oleh
lendir, dari udara, oleh kecelakaan, oleh keadaan yang tak dapat diketahui
sebelumnya, dan juga oleh hasil perbuatan lampau seperti diketahui dari
pengalamanmu sendiri. Dan kenyataan bahwa penderitaan timbul dari berbagai
penyebab telah diketahui dunia sebagai suatu kebenaran. Oleh karenanya pertapa
dan kaum Brahmin yang berkata: “Apapun kesenangan atau penderitaan atau keadaan
batin yang dialami seseorang, kesemuanya disebabkan karena masa lampau,” maka
pernyataan mereka bertentangan dengan pengalaman setiap orang yang telah diakui
kebenarannya oleh dunia. Oleh karenanya, Saya katakan, bahwa mereka itu
salah.”12
Sang Buddha mengajar kita hukum kamma, oleh karenanya kita dapat memaklumi
keadaan seperti sekarang ini, oleh karenanya kita dapat merubah diri sendiri,
dan oleh karenanya kita dapat menciptakan prasyarat-prasyarat yang membantu
pencapaian Nibbana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar