Sejarah Silat Cimande
Silat Cimande (Sejarah) – Bagian 1
oleh: Kiki Rizki Noviandi
Semua komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb. Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great Grandfather). Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering diperdebatkan, yaitu:
Semua komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb. Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great Grandfather). Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering diperdebatkan, yaitu:
1. Versi Pertama
Ini adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad 17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan tersebut beliau sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang berharga.
Ini adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad 17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan tersebut beliau sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang berharga.
Suatu waktu, ketika Abah Khaer
pulang dari berdagang, beliau tidak menemukan istrinya ada di rumah… padahal
saat itu sudah menjelang sore hari, dan ini bukan kebiasaan istrinya
meninggalkan rumah sampai sore. Beliau menunggu dan menunggu… sampai merasa
jengkel dan khawatir… jengkel karena perut lapar belum diisi dan khawatir
karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum datang juga.
Akhirnya tak lama kemudian istrinya
datang juga, hilang rasa khawatir… yang ada tinggal jengkel dan marah. Abah
Khaer bertanya kepada istrinya… “ti mana maneh?” (Dari mana kamu?) tetapi tidak
menunggu istrinya menjawab, melainkan langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi
istrinya malah bisa menghindar dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer
kehilangan keseimbangan. Ini membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus
memukul… tetapi semakin mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga
istrinya menghindar. Ini terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kecapean dan
menyadari kekhilafannya… dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus “ti mana
anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?” (Dari mana kamu? Lalu dari
mana kamu bisa “Main”?).
Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa
ketika tadi pagi ia pergi ke sungai untuk mencuci dan mengambil air, ia melihat
Harimau berkelahi dengan 2 ekor monyet. (Salah satu monyet memegang ranting
pohon.) Saking indahnya perkelahian itu sampai-sampai ia terkesima, dan
memutuskan akan menonton sampai beres. Ia mencoba mengingat semua gerakan baik
itu dari Harimau maupun dari Monyet, untungnya baik Harimau maupun Monyet
banyak mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu mempermudah ia mengingat
semua gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet sendiri baru berakhir
menjelang malam.
Setelah pertarungan itu selesai, ia
masih terkesima dan dibuat takjub oleh apa yang ditunjukan Harimau dan Monyet
tersebut. Akhirnya ia pun berlatih sendirian di pinggir sungai sampai
betul-betul menguasai semuanya (Hapal), dan itu menjelang tengah malam.
Apa yang ia pakai ketika menghindar
dari serangan Abah Khaer, adalah apa yang ia dapat dari melihat pertarungan
antara Harimau dan Monyet itu. Saat itu juga, Abah Khaer meminta istrinya
mengajarkan beliau. Ia berpikir, 2 kepala yang mengingat lebih baik daripada
satu kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat akan lupa. Beliau berhenti
berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua gerakan itu, dan baru
berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa beliau bisa
mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah beliau membangun
reputasinya di dunia persilatan.
Jurus yang dilatih:
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang “black magic” dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini. ).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang “black magic” dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini. ).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita di atas sebenarnya lebih
cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya, walaupun jurus-jurusnya
ada. Maenpo Cimande sendiri dibawa ke daerah Priangan Timur dan Cianjur Selatan
oleh pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang menarik adalah beberapa perguruan
tua di daerah itu kalau ditanya darimana belajar Maenpo Cimande selalu menjawab
“ti indung” (dari ibu), karena memang mitos itu mempengaruhi budaya setempat,
jadi jangan heran kalau di daerah itu perempuan pun betul-betul mempelajari
Maenpo Cimande dan mengajarkannya kepada anak-anak atau cucu-cucunya, seperti
halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan kepada Abah Khaer.
Perkembangannya Maenpo Cimande
sendiri sekarang di daerah tersebut sudah diajarkan bersama dengan aliran lain
(Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dll). Beberapa tokoh yang sangat disegani
adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir 1800 – awal 1900), Kiai
Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai Aji
(pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai Marzuk
(Maenpo H. Marzuk, jaman penjajahan Belanda), dll.
Silat Cimande (Sejarah) – Bagian 2
oleh: Kiki Rizki Noviandi
2. Versi Kedua
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah seorang ahli maenpo dari Kampung Badui. Beliau dipercayai sebagai keturunan Abah Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau daerah di Indonesia Tengah). Abah Bugis sendiri adalah salah seorang Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui, keberadaan Abah Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh Kampung Badui, karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah lain yang datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya berakhir dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui adalah merupakan “pengotoran” akan kesucian tanah Badui. Karena itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu’un) meminta Abah Khaer untuk meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati… Abah Khaer pun pergi meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor. Tetapi, untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui dalam), Abah Khaer diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal dari Badui, dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan melatih Maenpo mereka ke orang luar, jangankan melatih… menunjukan pun tidak boleh. Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk “menghaluskan” Maenpo nya, sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam pertarungan, dan juga beliau berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu beberapa Guru-guru Cimande tua tidak akan menerima bayaran dari muridnya yang berupa uang, lain halnya kalau mereka memberi barang… misal beras, ayam, gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti murid terhadap Guru. Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali untuk diuangkan. Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari daerah Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang, dsb). Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah Khaer, misalnya Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah seorang murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi paham ini bertentangan dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri sayangnya sekarang diakui dan dipatenkan di US oleh orang Indo-Belanda sebagai beladiri keluarga mereka.
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah seorang ahli maenpo dari Kampung Badui. Beliau dipercayai sebagai keturunan Abah Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau daerah di Indonesia Tengah). Abah Bugis sendiri adalah salah seorang Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui, keberadaan Abah Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh Kampung Badui, karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah lain yang datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya berakhir dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui adalah merupakan “pengotoran” akan kesucian tanah Badui. Karena itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu’un) meminta Abah Khaer untuk meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati… Abah Khaer pun pergi meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor. Tetapi, untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui dalam), Abah Khaer diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal dari Badui, dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan melatih Maenpo mereka ke orang luar, jangankan melatih… menunjukan pun tidak boleh. Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk “menghaluskan” Maenpo nya, sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam pertarungan, dan juga beliau berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu beberapa Guru-guru Cimande tua tidak akan menerima bayaran dari muridnya yang berupa uang, lain halnya kalau mereka memberi barang… misal beras, ayam, gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti murid terhadap Guru. Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali untuk diuangkan. Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari daerah Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang, dsb). Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah Khaer, misalnya Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah seorang murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi paham ini bertentangan dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri sayangnya sekarang diakui dan dipatenkan di US oleh orang Indo-Belanda sebagai beladiri keluarga mereka.
3. Versi Ketiga
Versi ketiga inilah yang “sedikit” ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di Kampung Tarik Kolot – Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Versi ketiga inilah yang “sedikit” ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di Kampung Tarik Kolot – Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid
dari Abah Buyut, masalahnya dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai
sebagaimana “leluhur” dalam bahasa Indonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan
sebuah misteri terpisah, darimana beliau belajar Maenpo ini… apakah hasil
perenungan sendiri atau ada yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut…
tepatnya di Tanah Sareal terletak makam leluhur Maenpo Cimande ini… Abah Buyut,
Abah Rangga, Abah Khaer, dll.
Abah Khaer awalnya berprofesi
sebagai pedagang (kuda dan lainnya), sehingga sering bepergian ke beberapa
daerah, terutama Batavia. Saat itu perjalanan Bogor-Batavia tidak semudah
sekarang, bukan hanya perampok… tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan Macan
Kumbang. Tantangan alam seperti itulah yang turut membentuk beladiri yang
dikuasai Abah Khaer ini. Disamping itu, di Batavia Abah Khaer berkawan dan
saling bertukar jurus dengan beberapa pendekar dari China dan juga dari
Sumatra. Dengan kualitas basic beladirinya yang matang dari Guru yang
benar (Abah Buyut), juga tempaan dari tantangan alam dan keterbukaan menerima
kelebihan dan masukan orang lain, secara tidak sadar Abah Khaer sudah membentuk
sebuah aliran yang dasyat dan juga mengangkat namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di
Cianjur berkuasa Bupati Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813,
dikenal juga dengan nama Dalem Enoh). Sang Bupati mendengar kehebatan
Abah Khaer, dan memintanya untuk tinggal di Cianjur dan bekerja sebagai “pamuk”
(pamuk=guru beladiri) di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria
Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria
Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom
Abas (ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Satu nama yang
patut dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena beliaulah
yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan nantinya memiliki cucu
yang “menciptakan” aliran baru yang tak kalah dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria
Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah Khaer pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria
Natanagara yang menjadi Bupati di Bogor. Mulai saat itulah beliau tinggal di
Kampung Tarik Kolot – Cimande sampai wafat (Tahun 1825, usia tidak
tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang anak, seperti yang dapat dilihat
di bawah ini. Mereka inilah dan murid-muridnya sewaktu beliau bekerja di
kabupaten yang menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh Jawa Barat.
http://www.kupload.com/out.php/i5010_AbahKhaer.JPG
http://www.kupload.com/out.php/i5010_AbahKhaer.JPG
Dan ini adalah gambaran dari salah
seorang anak Rd. Aria Wiratanudatar VI, yaitu Aom Abas, yang setelah menjadi
Bupati di Limbangan Garut juga bergelar Rd. Aria Wiratanudatar.
http://www.kupload.com/out.php/i5009_4.jpg
http://www.kupload.com/out.php/i5009_4.jpg
Sayangnya image tentang Abah Khaer
sendiri tidak ada, cuma digambarkan bahwa beliau: “selalu berpakain
kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga beliau selalu memakai ikat
kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika beliau “ibing” di atas panggung
penampilannya sangat expressif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot
yang berisi dan terlatih baik, ketika “ibing” (menari) seperti tidak mengenal
lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan
kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya
selaras dengan kendang (“Nincak kana kendang” – istilah sunda). Penampilannya
betul-betul tidak bisa dilupakan dan terus diperbincangkan.” (dari
cerita/buku Pangeran Kornel, legenda dari Sumedang, dalam salah satu bagian
yang menceritakan kedatangan Abah Khaer ke Sumedang, aslinya dalam bahasa
Sunda, pengarang Rd Memed Sastradiprawira).
Cat: lain kali saya posting soal
apa itu pangsi dan kampret seperti yang dipakai Abah Khaer yang diduga
mempengaruhi cara berpakain pesilat-pesilat sekarang terutama dari Sunda.
Sumber:
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=293945
Sumber: http://silatcimande.wordpress.com/2010/09/30/sejarah-silat-cimande/
Sumber: http://silatcimande.wordpress.com/2010/09/30/sejarah-silat-cimande/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar