Pendekar
Tiongkok
|
Ini adalah cerita yang ada
kaitanya dengan Silat PD, surat ini dikirim oleh Arifin Purwakananta
Moh. Arifin Purwakananta
Subject: [silatindonesia] Pengaruh kungfu terhadap silat To: silatindonesia@ yahoogroups. com Date: Wednesday, January 28, 2009, 10:00 PM
Berikut saya posting dari koran Pendekar Tiongkok di Tanah
Jawa Sebarkan Sikap Rendah Hati kepada Semua Orang Pada masa lalu,
pendekar-pendekar asal Tiongkok pernah berkiprah di Tanah Jawa. Bagaimana
sepak terjang mereka? Berikut laporannya. BONG bundar di puncak bukit Menden,
Parakan, Temanggung, itu terlihat renta. Beberapa bagiannya rusak dan
berlumut. Setumpuk batu-bata tertata rapi di depan epitaf. Bagi awam, makam
yang menghadap ke Gunung Sindoro-Sumbing itu tak punya nilai apa-apa. Tapi
warga Tionghoa Parakan amat memuliakannya.
Itulah makam Louw Djing Tie, tokoh yang dipercaya sebagai pendekar yang pernah malang-melintang dalam rimba persilatan di Tanah Jawa. Konon, semasa hidup dia disegani, baik oleh kawan maupun lawan-lawannya. Meski memiliki kemampuan bela diri kunthauw (kungfu) yang tinggi, dia dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Djing Tie disebut-sebut sebagai wu lin meng zhu, atau yang teragung di rimba persilatan. Sejauh ini tidak ada catatan sahih mengenai kehidupan Louw Djing Tie. Kisah-kisah mengenai dirinya lebih banyak bersumber dari cerita tutur. Terkadang kisah itu dibumbui mitos. Pemerhati budaya Pecinan Parakan, Sutrisno Murtiyoso memaparkan, Louw Djing Tie seorang singkek kelahiran Haiting pada 1855. Dia terlahir dengan perangai keras dan pemberani. Hampir setiap hari ia terlibat perkelahian dengan anak-anak sebayanya. Sebuah peristiwa kecil membawanya mengenal lebih jauh ilmu bela diri kungfu.
Alkisah, Djing Tie kecil yang
geram dengan ulah seorang bikhu pengemis melemparnya dengan batu. Bikhu yang
kerap menggunakan kekerasan saat meminta-minta itu marah dan mengejarnya.
Djing Tie lari dan terdesak ke sebuah kedai di jalan buntu. Untung dia
diselamatkan seorang juru masak tua dari kedai itu. ”Sejak peristiwa itu,
Louw Djing Tie jadi lebih dewasa. Dia mulai berlatih kungfu di salah satu
perguruan di desanya. Tak merasa puas, Djing Tie melanjutkan belajar ke kuil
shaolin, kepada bikhu Biauw Tjin dan suhu Kang Too Seng,” kisah Sutrisno.
Suatu ketika, pemerintah setempat mengadakan seleksi guru kungfu untuk
menjadi pelatih tentara. Louw Djing Tie bersama adik seperguruannya, Lie Wan
turut serta. Lie Wan mendapat giliran menantang seorang guru kungfu dari Shan
Dong yang telah mengalahkan empat penantang. Pertarungan berjalan seru dan
seimbang. Namun pada sebuah kesempatan, Lie Wan terancam. Tak ingin adik
seperguruannya celaka, Djing Tie spontan naik ke panggung dan melancarkan
serangan telak ke bagian terlarang lawan. Akibatnya fatal, guru kungfu dari
Shan Dong itu cidera parah, sebelum akhirnya meninggal.
Sadar telah melakukan kesalahan besar, Djing Tie disertai Lie Wan melarikan diri. Tak tanggung-tanggung, mereka hijrah ke Singapura. Hanya beberapa bulan, Djing Tie memutuskan berlayar ke Jawa. Mula-mula dia tinggal dan berdagang di Batavia, namun karena tak beroleh keuntungan, Djing Tie pindah ke Semarang. ”Sepanjang hidupnya, Louw Djing Tie menyesali perbuatannya yang tak kesatria itu,” ujar Sutrisno. Di Semarang, Djing Tie berdagang sambil tetap berlatih kungfu. Beberapa warga yang melihat dia berlatih terpukau sebelum akhirnya berguru kepadanya. Perlahan-lahan kepiawaiannya berkungfu menjadi buah bibir masyarakat. Be Khang Pien, pendekar yang bekerja sebagai keamanan di kediaman Kapten China Semarang Be Ing Tjoe di Kebondalem, pun merasa penasaran. Be Khang Pien ingin menjajal kemampuan ilmu bela diri Djing Tie. Dia mengajukan tantangan. Mula-mula Djing Tie enggan melayani. Namun karena terus dipaksa, dia terpaksa menerima tantangan itu. Dengan disaksikan sejumlah orang, mereka bertarung. Setelah sekian lama, Djing Tie memiliki kesempatan menghantam lawan. Namun, pendekar yang rendah hati itu enggan melakukannya. Dari sana Be Khang Pien tahu Djing Tie bukan orang sembarangan. Tak hanya hebat, dia juga rendah hati. Menyadari hal itu, Be Khang Pin kemudian menjalin persahabatan dengan Djing Tie.Pindah ke ParakanSuatu hari seorang kenalan mengajak Djing Tie mengajar kungfu di Ambarawa. Setelah itu dia juga melakukan hal sama di Wonosobo. Saat berada di kota berhawa sejuk itu, Djing Tie beroleh tawaran untuk bertarung dengan harimau di Parakan. Awalnya enggan, namun atas desakan seorang kawan, dia menyanggupi tantangan itu. Terlebih dengan iming-iming bayaran tinggi. ”Tapi acara gila itu tak pernah terlaksana. Sebab aparat keamanan Belanda keburu melarangnya,” kata Sutrisno. Djing Tie selanjutnya memilih bermukim di Parakan. Dia mengajar ilmu bela diri kepada sebuah keluarga juragan tembakau di kota itu. Warga menyambutnya dengan baik. Namun The Soei, seorang guru kungfu di daerah itu merasa ingin menguji kehebatan Djing tie. Tantangan itu dilayani. Maka waktu yang telah ditentukan, mereka mengadu kehebatan. Menurut Sutrisno, untuk menghindari jatuhnya korban, mereka mengganti senjata tajam dengan sebatang kuas yang ujungnya dicelup tinta cina. Kedua jagoan itu saling menyerang, tusuk-menusuk secara bergantian. Djing dapat mendesak The Soei. Berkali-kali dia berhasil menorehkan ujung kuasnya ke daerah berbahaya di bagian tubuh The Soei.
Kalau mau, barangkali Tubuh The
Soei sudah penuh bercak-bercak tinta. Namun seperti halnya saat bertarung
melawan Be Khang Pien, Djing Tie enggan banyak-banyak menusukkan ujung
kuasnya. Pertarungan itu dinyatakan seri, namun The soei yang tahu keadaan
sebenarnya menjadi sangat hormat pada Djing Tie dan menjadi sahabat baik.
Diusia tuanya dia memiliki banyak murid dan tak pernah bosan menularkan ilmu
beladirinya. Salah satu murid terakhir sekaligus kesayangan Djing Tie adalah
Hoo Tik Tjay alias Bah Suthur. Dialah yang merawat Djing Tie di usia tua
hingga meninggal dunia. (Rukardi-46) sepeninggal Louw Djing Tie,
muncul pendekar-pendekar muda kungfu dengan penguasaan ilmu yang cukup
tinggi. Mereka kebanyakan para singkek dan pernah menimba ilmu pada
perguruan-perguruan kungfu di daratan China, antara lain Lo Ban Teng, Djie
Siauw Foe, dan Khong A Djong.
Lo Ban Teng lahir di Cio bee,
Hokkian pada 1886. Dia murid Yoe Tjoen Gan yang beraliran siauw lim ho yang
pay. Saat remaja, Ban Teng pernah berlayar ke Semarang dan tinggal di Kampung
Selan. Namun, lantaran tak punya pekerjaan jelas, dia pulang ke negeri
asalnya. Pada 1927, lelaki dengan bekas luka di dahi itu kembali datang ke
Semarang. Terpikat gadis bernama Go Bin Nio, Ban Teng memutuskan tinggal
menetap. Pada 1931 Ban Teng pernah menyelenggarakan tjing pie say atau demo
untuk mencari jawara kungfu. Acara itu digelar di tiga kota, yakni Semarang,
Solo, dan Yogyakarta.
Di panggung, dia menempelkan poster-poster provokatif bertuliskan, "bwee pa, tju li lay" (kalau mau coba, silakan muncul), "kia sia em tang lay" (kalau takut mati, tidak usah datang), dan "pa sie ka tie tay" (kalau kena serangan maut, urus sendiri kuburan anda). Namun, perhelatan itu tak beroleh respons dari para pendekar di Tanah Jawa. Djie Siauw Foe seorang pendekar asal Shan Dong. Dia mendapat tempat terhormat di kalangan pendekar-pendekar dari utara. Atas undangan sahabatnya Wang Zhi Jiu, Siauw Foe bersama sejumlah pendekar dari utara lainnya datang ke Batavia pada sekitar 1925. Dia kemudian memutuskan diri menetap di Semarang, tepatnya di Kampung Pederesan Kecil. Di tempat itu Siauw Foe mengajarkan ilmu bela diri yang dimilikinya. Pada tahun 1970-an, dia meninggal dunia.
Sedangkan Khong A Djong lahir di
Kampung Gabahan Lengkong Buntu, kawasan Pecinan Semarang pada 10 Oktober
1896. Pada usia enam tahun, A Djong dititipkan orang tuanya kepada seorang
paman yang tinggal di Kota Nam Hai, Kwang Tung. Di negeri besar itu, dia
belajar kungfu di Siao Liem Sie, perguruan masyhur tempat para pendekar
kungfu terbaik Tiongkok menuntut ilmu. Gurunya Siong Mao, murid pendekar
legendaris Wong Fei Hung. Di perguruan yang menelurkan Bruce Lee itu, A Djong
mempelajari dua aliran kungfu, yakni siau liem dan nggo mbie paei. Siau liem
adalah aliran kungfu dari Tiongkok Selatan yang mengutamakan pertarungan
tangan kosong jarak jauh, sedangkan nggo mbie paei berasal dari Tiongkok
Utara yang mengedepankan pertarungan tangan kosong jarak pendek.
Konon, A Djong pernah memenangi
kejuaraan kungfu gaya bebas di daratan Tiongkok (baligay) tujuh kali
berturut-turut. Sebagai hadiah, dia menerima rompi yang terbuat dari kulit
macan asli (fu bei sam). Setelah 27 tahun belajar kungfu di Tiongkok, A Djong
dipanggil orang tuanya pulang ke Semarang untuk menikah dengan seorang gadis
tetangga dari Kampung Gabahan Lengkong Buntu, Auw Yang Ien Nio. Punya
tanggungan keluarga, A Djong bekerja apa saja. Dia juga memanfaatkan
kemampuan bela dirinya untuk melatih dan menggelar pertunjukan kungfu di
tempat umum.
Salah satu muridnya adalah anggota keluarga Mayor Gedonggulo. Sebelum sakit dan meninggal pada 22 September 2008, Khong A Djong masih bekerja. Dia membuka praktik penyembuhan patah tulang di rumahnya Jl MT Haryono.Berebut Pengaruh rimba persilatan adalah dunia yang keras. Para pendekar itu acap terlibat perselisihan untuk memperebutkan pengaruh. Selain antarpendekar kungfu, perselisihan juga kerap terjadi dengan pendekar-pendekar silat lokal. Tak jarang perselisihan diselesaikan melalui pertarungan.
Dalam tradisi persilatan, mereka
bertarung di sebuah arena yang telah disiapkan. Siapa yang menang, dialah
yang mendapat pengaruh. Namun seringkali pertarungan terbuka itu terendus
aparat hingga urung dilaksanakan. Di luar perselisihan, dunia
persilatan juga diwarnai saling pengaruh ilmu beladiri. Umumnya yang terjadi
adalah pengaruh kungfu terhadap silat. Satu contoh paling tipikal mengenai
hal itu adalah pengaruh aliran siauw liem sie dalam perguruan silat Perisai
Diri.
Alkisah, dalam salah satu periode hidupnya, RM Soebandiman Dirdjoatmodjo— guru besar sekaligus pendiri perguruan silat Perisai Diri—pernah berguru kepada Yap Kie San di Parakan, Temanggung. Perlu diketahui, Yap Kie San adalah salah seorang cucu murid Louw Djing Tie, dari Hoo Tik Tjay alias Bah Suthur. Tak tanggung-tanggung, proses merguru itu dilakukan selama kurang lebih 14 tahun. Menurut Lauw Tjing How, salah seorang keturunan Louw Djing Tie, Soebandiman alias Pak Dirdjo termasuk satu dari enam murid yang sanggup menamatkan pelajaran Yap Kie San. (Rukardi-65)
Bagi anda yang
mendownload/copy artikel harap menyertakan sumber
http://perisaidiripekanbaru.com/. Sesuai dengan UU yang berlaku.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar