artikel TEMPO online 2 Juni 1984

02 Juni 1984
Riang riung bangau putih
BUMI perkemahan Pramuka di Cibubur, sekitar 20 km dari pusat Jakarta, semarak Sabtu pekan lalu. Sore itu, udara cerah. Angin bertiup semilir ketika sebuah acara: Riungan Para Pesilat Perguruan Silat Gerak Badan (PGB) Bangau Putih resmi dibuka. Sekitar 2.500 pesilat, sebagian besar anak murid Bangau Putih dari cabangnya di dalam dan luar negeri, ditambah wakil dari sedikitnya 13 perguruan silat terkemuka di Indonesia, hadir di acara yang sekaligus merupakan puncak acara ulang tahun ke-36 IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia). Berkemah di sekitar 100 kemah hijau yangdipasang bertebar di bumi perkemahan itu, para pesilat bolehlah disebut mewakili hampir semua perkumpulan silat terkemuka di Indonesia. Mereka, antara lain, dari perkumpulan Macan Betawi, Cempaka Putih, Garuda Pasa, Maung Lugay, Pendekar Banten, dan Kujang Sakti. Tak ketinggalan pula tampak sejumlah sesepuh persilatan Indonesia, seperti pendiri dan bekas ketua umum IPSI Tjokropranolo, dan ketua umum yang sekarang, Eddy Maruki Nalapraya, wakil gubernur DKI. Riungan diselenggarakan kata Subur Rahardja, 59, pendiri dan suhu PGB Bangau Putih, selain untuk memperkenalkan identitas Bangau Putih, juga dimaksudkan untuk meningkatkan pembinaan pada pesilat Indonesia. "Saya ingin agar seluruh perguruan silat bisa bersatu dan mengutamakan persaudaraan," kata Subur. Harapan sang suhu ini tampak sederhana. Namun, tak syak lagi, tersirat sejumlah persoalan yang kini masih ada di kegiatan silat Indonesia, yang sejak 1936 diwadahkan dalam IPSI. Itulah pula sebabnya, dalam acara riungan - yang direncanakan berlangsung setlap tahun disediakan forum diskusi dan tukar-menukar pengalaman antara para anggota IPSI. "Lewat riungan semacam ini secara bertahap kita bisa lebih bersatu," kata ketua umum IPSI Eddy Nalapraya. Dan ganjalan itu memang segera tampak pada serangkaian diskusi atau tukar pikiran dalam acara tadi. Misalnya, yang tampak menonjol disoalkan ialah masalah standardisasi penilaian wasit di suatu pertandingan atau kejuaraan. Ketua umum IPSI Kabupaten Sukabumi Aim. K. Amrullah, misalnya, terus terang mengungkapkan ketidakpuasannya dalam soal perilaian tadi. "Sering terjadi kericuhan di pertandingan karena lemahnya sistem ini," katanya. Dia tak menyebutkan contoh-contoh. Namun, pelbagai kasus keributan yang terjadi sejak Kejuaraan Nasional Silat dimulai 1976 setidak-tidaknya bisa diambil sebagai contoh. Misalnya, yang agak menghebohkan tatkala berlangsung Kejurnas Silat III di Jakarta, 1979. Sejumlah pesilat dan pendukung Aceh hampir mengamuk ketika pesilat mereka, Ramli, dinyatakan kalah atas pesilat Nusa Tenggara Barat. Padahal, mereka menghitung sedikitnya dua kali Ramli mendaratkan pukulannya dan menjatuhkan lawannya dari NTB itu. "Masa pesilat NTB yang hanya memukul colak-colek dimenangkan," kata S. Tisna, manajer tim Aceh waktu itu. Banyak kasus lain yang dibicarakan di riungan. Dan itu memantulkan perlunya IPSI meningkatkan penelitian dan pengembangannya. Khusus tentang wasit, misalnya, dengan perkembangan silat dewasa ini, "Kita butuh wasit yang bertaraf internasional," kata Benny G. Rahardja, putra suhu Bangau Putih itu. Maksudnya, seorang wasit yang mengenal gerak atau jurus silat pelbagai aliran. "Paling tidak, dia harus bisa tegas membedakan mana gerakan yang layak disebut jurus silat, mana yang tidak," kata Benny. Dan ini, terus terang saja, tidak gampang. Maklumlah, di Indonesia saja, saat ini diketahui ada sedikitnya 820 aliran pencak silat. Belum lagi di pelbagai negara, seperti Filipina dan Malaysia. Walhasil, seperti dipesankan Subur Rahardja, "Litbang IPSI perlu terus digalakkan." Dan memang inilah yang agaknya mau dicapai lewat riungan yang berlangsung dalam suasana riang para pesilat itu.

Komentar